Pojok Suara | Aceh Barat – Sejumlah warga pedalaman Aceh Barat menggelar aksi damai bertajuk “Peduli Tambang Rakyat” di bantaran Sungai Kecamatan Pante Ceureumen, Kamis (2/10/2025). Aksi ini menjadi panggung curahan hati para korban konflik, janda, fakir miskin, serta ibu-ibu pedesaan yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas tambang emas rakyat.
Aksi tersebut digelar pasca ultimatum Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), yang melarang keberadaan alat berat di lokasi tambang ilegal. Warga mengaku sudah menaati instruksi tersebut dengan menurunkan seluruh ekskavator dari hutan. Namun, mereka khawatir penertiban tambang justru akan memutus sumber nafkah utama keluarga.
“Kami Taat, Tapi Mohon Solusi”
Muhammad Yusuf, Mantan Panglima Muda GAM Wilayah Kaway XVI Raya, menegaskan bahwa masyarakat tidak pernah berniat melawan aturan pemerintah. Seluruh alat berat, kata dia, sudah ditarik keluar dari lokasi tambang sesuai instruksi gubernur.
“Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saleum yang mulia untuk Panglima kami, Mualem. Sesuai perintah Mualem, ekskavator sudah kami turunkan semua. Kami taat karena Mualem adalah pemimpin kami,” ujarnya di hadapan warga.
Namun, Yusuf mengingatkan bahwa tambang emas rakyat bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan penopang hidup ribuan keluarga korban konflik.
“Beko ini tempat masyarakat makan, terutama anak-anak korban konflik. Kalau tambang ini ditutup begitu saja, entah ke mana lagi nasib kami. Bahasa Aceh bilang, jangan ikat luka dengan tulang. Jangan tambah susah rakyat yang sudah susah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, selama ini masyarakat tidak pernah meminta-minta ke pemerintah, karena sudah ada pekerjaan tetap di tambang. “Walaupun hanya Rp100 ribu per hari, kami sudah bisa menyekolahkan anak, membayar pesantren, dan kebutuhan rumah tangga. Tapi kalau tambang ditutup, insyaallah kami pasti ramai-ramai datang ke rumah Mualem, karena kami tak punya pilihan lain,” tegas Yusuf.
Suara Ibu-Ibu: “Kami Butuh Biaya Anak Sekolah”
Nada harapan yang sama disampaikan Mardiati, seorang ibu dari Desa Sikundo. Ia mengaku keberadaan alat berat di tambang emas sangat membantu perekonomian keluarga, terutama bagi para perempuan yang ditinggal suami atau harus berjuang sendiri.
“Dengan adanya beko, alhamdulillah hidup kami sangat terbantu. Banyak janda dan fakir miskin bisa bertahan hidup. Kalau tambang ini ditutup, kami tak sanggup lagi bekerja manual. Mana mungkin kami korek batu dengan tangan,” tuturnya.
Mardiati menitikberatkan bahwa kebutuhan terbesar keluarga adalah biaya pendidikan.
“Kami punya anak-anak yang sekolah, ada di pesantren, ada juga yang kuliah. Semua butuh biaya. Dengan adanya tambang, kami bisa bayar kebutuhan itu. Kalau tambang ditutup, kami tidak tahu lagi harus cari uang ke mana,” katanya dengan suara lirih.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf menggelar rapat bersama Forkopimda di Meuligoe Gubernur, Selasa (30/9/2025). Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membentuk tim khusus yang melibatkan Pemerintah Aceh, Polda Aceh, Kodam Iskandar Muda, serta para ahli pertambangan guna menertibkan aktivitas tambang ilegal.
Kesepakatan itu dituangkan dalam Instruksi Gubernur Aceh Nomor 8/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan dan Non-Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam.
Dalam keterangan resminya, Mualem menegaskan bahwa penertiban dilakukan bukan untuk menyengsarakan rakyat, tetapi demi menjaga kelestarian lingkungan serta meningkatkan Pendapatan Asli Aceh. Ia juga berjanji, tambang yang ditertibkan akan ditata agar bisa dikelola lebih legal melalui badan usaha berbasis masyarakat, seperti koperasi gampong.
“Dengan penataan yang baik, maka tambang-tambang ilegal ini akan kita legalkan, nantinya akan dikelola oleh sebuah badan, bisa seperti koperasi gampong dan lain sebagainya serta tetap memperhatikan lingkungan. Dengan demikian, para penambang akan lebih nyaman bekerja serta menyumbang dan meningkatkan Pendapatan Asli Aceh,” ujar Mualem.
Meski pemerintah telah menjanjikan penataan, bagi warga pedalaman Aceh Barat, janji tersebut masih terasa jauh. Yang mereka hadapi hari ini adalah ketakutan kehilangan sumber nafkah.
“Harapan kami cuma satu: jangan biarkan rakyat kecil terlantar. Kami tidak melawan aturan. Kami hanya minta solusi supaya tambang bisa tetap berjalan, karena dari sinilah kami menghidupi anak-anak,” tutup Muhammad Yusuf













